Friday, November 28, 2014

Rasanya cukup lama sudah tidak menulis di blog yang satu ini. Sekalinya kepingin menulis, kebetulan dapat bahan menarik untuk diulik. Sepak bola Asia.

Sepak bola Asia bisa dibilang masih dalam status berkembang. Dibanding dengan negara-negara dari benua Eropa, Amerika, bahkan Afrika, Asia berada pada posisi paling bawah. Memang, negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Iran, dan beberapa lagi masih bisa bersaing, tapi gapnya terlalu jauh dengan negara-negara kelas dua, bahkan kelas tiga. Indonesia masuk kelas mana menurut kalian?

Mungkin itulah kenapa AFC melakukan beberapa "gebrakan". Ya, perubahan sedang gencar-gencarnya dilakukan AFC. Ada kompetisi yang dihilangkan, juga ada penjumlahan jumlah peserta kompetisi yang digelar AFC, ada pengubahan sistem kompetisi. Saya batasi bahan yang saya bahas ini menyoal kompetisi yang diselenggarakan oleh AFC, baik itu antar-tim nasional maupun antar-klub.

Mulai dari kelas tim nasional. Seperti halnya yang dilakukan Platini, AFC memutuskan untuk menambah jumlah kontestan Piala Asia pada edisi 2019. Dari yang sebelumnya hanya 16 tim, diperbanyak menjadi 24 tim. Ikut-ikutan? Untuk memberikan kesempatan bagi anggota merasakan kompetisi AFC lah yang menjadi alasan mereka. Atau, ini khusus ditujukan kepada Indonesia yang sekarang mulai kepayahan untuk masuk Piala Asia? Bisa jadi.

Sistem kualifikasi Piala Asia dan Piala Dunia juga ikut diubah. Pada babak awal, keduanya digabung, kemudian dipisah babak berikutnya. Tidak seperti edisi yang sudah-sudah, semua negara anggota AFC (yang berpartisipasi) langsung dibagi dalam delapan grup pada babak kualifikasi awal. Juara grup dan empat posisi kedua terbaik lolos ke babak final Piala Asia sekaligus lolos ke babak final kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Sisa slot Piala Asia (12) akan diperebutkan oleh 24 tim terbaik berdasarkan babak kualifikasi awal yang akan dibagi dalam enam grup.

Peluang Indonesia untuk berlaga kembali di Piala Asia dan atau Piala Dunia jadi makin terbuka, bukan? Kalau bisa.

Sementara, AFC Challenge Cup, kompetisi untuk anggota dengan status "emerging associations" atau kelas tiga akan dihentikan. Kompetisi ini sebetulnya menjadi jalan bagi mereka untuk bisa lolos ke babak final Piala Asia. Juara AFC Challenge Cup berkesempatan merasakan kompetisi tertinggi di tingkat Asia ini. Dan edisi tahun ini yang diadakan di Maladewa menjadi edisi terakhir. Palestina menjadi juara setelah mengalahkan Filipina, 1 - 0.

Tidak hanya itu, ada pula kompetisi antar-klub yang ikut dipensiunkan. Adalah AFC President Cup, kompetisi tingkat tiga di bawah AFC Champions League dan AFC Cup. Kompetisi ini mewadahi klub-klub dari anggota yang berstatus "emerging associations" tadi. Pertandingan antara HTTU Asgabat dari Turkmenistan dengan Rimyongsu dari Korea Utara menjadi final terakhir yang akan dicatat menjadi sejarah. HTTU keluar sebagai juara dengan menang 2 - 1.

Dengan dihentikannya AFC President Cup, praktis hanya ada dua kompetisi antar-klub di Asia: AFC Champions League (ACL) dan AFC Cup.

Kedua kompetisi tersebut juga tak luput dari pembaruan. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya di mana hanya ada 11 negara yang bisa ambil bagian, mulai tahun ini, klub-klub dari 24 anggota AFC (12 negara dari masing-masing zona) punya kesempatan untuk tampil pada ACL. Mereka adalah 24 peringkat teratas dari poin anggota AFC yang terdiri dari poin klub dan poin tim nasional. 

Indonesia menduduki peringkat 18 dengan 25.004 (poin klub 18.093, poin tim nasional 6.911), atau berada tiga tingkat di bawah Vietnam dengan 27.753 (16.610, 11.143) dan lima tingkat di bawah Thailand 33.049 (27.585, 5.464). Atau kalau dipisah berdasarkan zona, Indonesia berada di nomor tujuh zona timur. Artinya, Indonesia mendapat jatah satu slot play-off ACL. 

Dalam ketentuan baru yang dirilis AFC, peringkat satu dan dua masing-masing zona mendapat tiga slot lolos langsung ke babak grup dan satu slot play-off ACL. Peringkat tiga dan empat mendapat dua slot lolos langsung dan dua slot play-off. Peringkat lima mendapat satu slot lolos langsung dan dua slot play-off. Peringkat enam mendapat satu slot lolos langsung dan satu slot play-off. Peringkat 7 - 12 hanya mendapat jatah satu slot play-off.

Beralih ke AFC Cup. Kompetisi ini akan menjadi tempat persinggahan baru bagi klub-klub yang tadinya berlaga di AFC President Cup. Klub-klub dari negara anggota AFC yang berada pada peringkat 33 - 47 akan saling rebutan tempat melalui babak play-off. Sementara mereka yang berada di peringkat 25 - 32 sudah dipastikan masuk babak penyisihan grup. Indonesia juga akan menempatkan wakilnya di sini, Persipura sebagai runner-up ISL 2014 dan Persib jika gagal di babak play-off ACL nanti.

AFC MA's ranking selengkapnya bisa dibaca di http://www.the-afc.com/uploads/afc/files/rankings/afc_ma_rankings_03_11_2014.pdf

Monday, December 10, 2012


Persekabpur (ungu) , laga perdana Divisi 2 musim 2012, 28/1/2012 di kandang, Std. WR Soepratman.
 (foto: Stefanus / via tempurmania.net)

Bicara soal klub lokal, saya jadi ingin bicara tentang Persekabpur. Mungkin nama ini masih asing dalam sepak bola nasional. Bahkan di daerah asalnya sendiri belum semuanya mengenal nama ini. Menyebut namanya yang benarnya pun masih banyak yang keliru. Memang, klub ini masih baru. Usianya baru genap 2 tahun pada Juni 2012 lalu.

Persekabpur atau singkatan dari Persatuan Sepak Bola Kabupaten Purworejo, nama yang khas di telinga orang-orang Indonesia, berawalan -perse, adalah klub amatir yang berasal dari Kabupaten Purworejo. Klub yang akan berlaga di Liga Amatir Indonesia, Divisi 1 (2012/2013), setelah musim lalu memastikan diri promosi dari Divisi 2. Dan 2 musim lalu menjadi juara 3 Divisi 3, musim pertamanya di Liga Indonesia.

Klub ini kembali dihidupkan setelah beberapa tahun tidak tampak badannya, seperti mati suri. Dulu namanya ISP, Ikatan Sepak Bola Purworejo (meski sekarang sebenarnya juga masih itu nama yang sah di PSSI). Sebelum mulai kiprahnya di Divisi 3, kompetisi paling bergengsi yang diikuti ISP adalah PIala Soeratin. Prestasi terbaiknya saat tahun 1986, ISP nyaris lolos ke babak final yang digelar di Jakarta. Sayangnya Persipur Purwodadi mengandaskan asa ISP pada laga final Korwil VI Jateng-DIY.

Saya jadi ingat tahun 2003 saat masih SMP, diajak bapak nonton pertandingan sepak bola di stadion, Std. WR Soepratman namanya. Sebenarnya nonton karena kakak saya ikut main memperkuat ISP, tapi saat itu saya belum tahu apa itu Piala Soeratin. ISP menang 2-1 atas Brebes ISP kalah 1-2 dari Persipa Pati kala itu. Untuk pertama kalinya nonton sepak bola di stadion yang hanya bertribun di bagian timur dan penontonnya pun masih sepi. Tahun-tahun di mana saya belum mengenal sepak bola nasional.

Pertandingan itu mungkin juga jadi yang terakhir klub asal Purworejo yang saya tonton langsung sebelum akhirnya hidup kembali dan mulai berkompetisi di Divisi 3 pada pertengahan 2010. Rasanya senang sekali saat mendengar kabar adanya klub asal Purworejo yang akan ikut kompetisi nasional. Dalam arti, akhirnya saya bisa mendukung langsung klub dari kota asal saya setelah selama ini hanya menjadi penonton di kota orang.

Pada musim pertamanya, Persekabpur langsung meraih posisi 3 nasional di akhir musim dan sekaligus merebut 1 tiket promosi dari Divisi 3 ke Divisi 2. Musim  keduanya, Persekabpur juga langsung promosi ke divisi yang lebih tinggi, meskipun hanya sampai babak 8 besar Juli 2012 lalu. Pada musim 2013 mendatang, Persekabpur akan berlaga di Divisi 1.

Meskipun begitu, sebenarnya masih banyak kekurangan. Dari segi infrastruktur, pendanaan, manajemen, dan juga pembinaan usia muda. Komplit, sebagian dari beberapa aspek untuk menuju klub yang mandiri dan profesional. Kalau pun ingin menuju ke situ.

Hingga saat ini belum ada stadion yang representatif bagi klub sepak bola Purworejo yang akan mengikuti kompetisi yang lebih tinggi levelnya. Meski sudah ada Std. WR Soepratman, satu-satunya stadion yang ada, namun kualitas lapangan dan rumput yang masih buruk. Seperti halnya lapangan-lapangan yang ada di Indonesia, drainasenya buruk, yang kala hujan lebat air menggenang.

Tribun penonton pun hanya ada di bagian timur dan belum ada tribun vip di bagian barat. Tentunya juga fasilitas penunjang seperti ruang ganti, ruang wasit, tempat media, dan toilet pun juga belum ada. Mungkin saat Divisi 3 dan Divisi 2 lalu stadion ini masih bisa dibilang layak digunakan. Tapi, kiranya untuk musim depan di Divisi 1 stadion ini sudah tak layak lagi. Dan hingga kini, belum ada kabar lagi kapan stadion ini akan direnovasi, atau kabar akan dibangunannya stadion baru. Entah.

Bicara soal infrastruktur, maka juga akan berkaitan dengan dana. Kendala dana lah yang menjadi faktor utama. Pemkab Purworejo yang masih setengah hati “membantu” keberlangsungan hidup Persekabpur dalam segi infrastruktur. Kekurangan dana membuat infrastruktur tidak tersentuh sehingga terbengkalai sampai detik ini.

Atau, karena anggaran dana dialokasikan untuk biaya operasional Persekabpur? Bisa jadi! Ya, sebagai klub amatir memang Persekabpur masih mendapat keistimewaan dalam sumber dana. Selama 2 musim kemarin Persekabpur praktis hanya mengandalkan dana APBD yang besarnya sebenarnya tidak cukup untuk mengarungi 1 kompetisi. Bahkan, musim 2011/2012 kemarin Persekabpur krisis dana.

Dana memang masalah klasik. Tak hanya Persekabpur saja yang mengalaminya, hampir sebagian besar klub sepak bola di Indonesia mengalami masalah serupa. Tapi, ada juga klub yang sudah bisa memulai bercerai dengan APBD dengan menggandeng beberapa pengusaha untuk berinvestasi ke klub. Dan untuk bisa seperti itu dibutuhkan manajemen yang solid dan bisa bekerja secara profesional.

Sayangnya, kinerja manajemen masih seadanya. Pendanaan masih mengandalkan APBD, pun dengan pemain yang masih kurang diperhatikan keadaannya, khususnya masalah tempat tinggal dan makanan sehari-hari yang juga seadanya.

Mungkin karena statusnya masih amatir sehingga klub pun dikelola secara amatir. Hal ini tidak bisa sepatutnya dipakai sebagai pembenaran. Sebagai klub amatir yang (sekali lagi kalau ingin) nantinya menjadi klub yang bermain di level yang lebih tinggi, semi-pro atau pro, alangkah baiknya dimulai dari sekarang. Padahal Persekabpur sudah punya aset, yaitu kelompok suporter yang sudah berdiri sejak awal adanya Persekabpur yang kini jumlah anggotanya semakin meningkat.

Saya sendiri tak ingin terlalu muluk berharap. Untuk hal yang dasar saja masih belum bisa peduli. Pembinaan di tingkat kabupaten dan juga usia dini contohnya, yang sampai saat ini belum diperhatikan. Kompetisi internal terbengkalai, yang tidak rutin digelar, kadang ada kadang vakum. Pun dengan pembinaan usia dini yang akhirnya para pengampu SSB berinisiasi sendiri membentuk asosiasi.

Lalu, mau dibawa kemana sebenarnya Persekabpur ini? Inginkah melangkah ke tingkat yang lebih tinggi atau hanya sebagai klub amatir dan musiman yang hanya hidup ketika kompetisi ada? meski saya akan tetap selalu mendukung karena klub ini membawa nama Purworejo, kampung halaman yang saya cintai.

*telah dipublikasikan sebelumnya di http://footballego.com/001/?p=727

Friday, October 26, 2012

Babak final Liga Amatir dimainkan di lapangan yang tidak layak, Std. Tambun, Bekasi.
Tak seperti jargon awal, "Road to SUGBK". (foto: vod.kompas.com/finaldivisi3)
Liga Amatir merupakan salah satu jenjang kompetisi sepak bola di Indonesia. Namun, tak semua para pecinta sepak bola Indonesia tahu akan itu. Kebanyakan hanya tahu liga kasta 1 dan 2 yang katanya liga profesional. Liga Amatir yang terdiri dari 3 Divisi: I, II, dan III ini padahal tak kalah menariknya. Banyak klub yang ikut, banyak juga pemain-pemain yang beradu di dalamnya.

Tapi sayangnya, kompetisi yang harusnya jadi tempat bagi para pemain amatir untuk mengasah dan menunjukkan bakat dan kemampuan mereka sebelum beralih jadi pemain profesional tidak dikelola dengan baik. Sesuai namanya, Liga Amatir pun dikelola secara amatiran. Contohnya Liga Amatir musim 2011/2012 ini yang belum selesai hingga tulisan ini saya publish. Bagaimana dengan musim-musim sebelumnya? Tak jauh beda.

Mungkin yang sudah mengikuti Liga Amatir sejak dulu sudah tahu seperti apa penyelenggaraan Liga Amatir. Setiap musimnya, Liga Amatir menggunakan sistem group round-robin (tiap 2 tim saling bertemu 1x di masing-masing grup) tiap babaknya sebelum masuk babak semifinal dan final. Total ada 5 babak termasuk semifinal dan final. Dengan sistem dan format seperti itu agak tidak adil rasanya karena klub-klub yang tidak bisa lolos dari babak pertama hanya bertanding kurang dari 5 pertandingan. Bahkan, hanya dengan jumlah pertandingan itu klub bisa degradasi.

Musim ini sedikit berbeda. Pada 2 babak awal digunakan double round-robin (tiap 2 tim bertemu 2x) baik home-away maupun home tournament (dimainkan di 1 atau 2 tempat saja). Tiap grupnya diisi oleh rata-rata 4 - 6 klub. Jadi, minimal tiap klub bertanding 6 kali dalam 1 musim sebelum akhirnya tidak lolos ke babak selanjutnya atau degradasi. Tapi, menurut saya dengan jumlah pertandingan itu juga masih sangat kurang. Sementara bagi klub yang lolos ke babak-babak berikutnya, bisa tanding hingga belasan pertandingan.

Jadwal penyelenggaraan Liga Amatir pun molor berkali-kali. Contohnya Divisi 2 musim 2011/2012 ini yang dijadwalkan mulai pada pertengahan Desember 2011. Tapi kemudian diundur ke pertengahan Januari 2012. Itupun masih diundur lagi dan baru benar-benar dimulai pada 25 Januari 2012. Di tengah-tengah kompetisi pun jadwal juga molor. Bahkan, penyelenggaraan babak final mundur 4 bulan dari jadwal awal. Babak final baru akan selesai sore tadi (25 Oktober)

Waktu pelaksanaan pertandingan mirip penyelenggaraan festival SSB. Dalam waktu 3-4 hari, pemain dipaksa bermain 3x pertandingan. Setelah selesai, kompetisi bisa jeda cukup lama, bahkan hingga bulanan. Apakah seperti ini yang namanya kompetisi? Liga Amatir yang katanya sebagai ajang pembinaan dengan pembatasan usia pemain tapi dikelola seadanya atau bisa dibilang asal-asalan.

Lalu bagaimana sebaiknya? Pernah saya tulis beberapa waktu lalu tentang sistem Liga Amatir di sini: "Piramida Kompetisi Sepak Bola Indonesia?" Menurut saya perlu ada pengubahan sistem dan format kompetisi. Terlalu banyak babak dalam 1 musim dan itu tidak efektif. Cukup dengan 2 babak saja padahal bisa sebenarnya. 

Babak pertama menggunakan sistem double round-robin baik dengan home-away maupun home-tournament (tergantung letak geografis klub). Tiap grup diisi oleh 8 - 10 klub. Jadi, tiap klub bertanding sebanyak 14 - 18 kali tiap musimnya. Jumlah yang cukup bagi para pemain amatir selama 1 musim dan adil bagi semua klub peserta karena bertanding dengan banyak yang hampir sama banyaknya. 

Pada Babak 2, digunakan sistem gugur (play-off) untuk masing-masing juara grup sebagai penentuan juara di tempat yang netral. Sementara untuk penentukan promosi bisa langsung dengan menetapkan masing-masing juara grup dan untuk degradasi adalah posisi juru kunci tiap grup.

Tentunya dilengkapi dengan penyusunan jadwal yang jelas. Soal pelaksanaan jadwal, dibutuhkan kejelasan dan ketegasan peraturan. Pengelola mesti disiplin, begitu juga dengan klub peserta sehingga jadwal yang molor bisa dihindari. Pengelola liga pun harus berani memberi sanksi jika klub tidak bisa disiplin dalam mentaati peraturan yang ada.

Bukankah Liga Amatir bisa sebagai media latihan para pengurus klub sebelum mereka naik ke liga yang lebih tinggi levelnya atau bahkan ke liga profesionalnya suatu saat nanti. Termasuk soal pengelolaan keuangan klub, karena soal yang satu ini masih menjadi kelemahan klub-klub amatir dan juga klub yang sudah main di liga (yang katanya) profesional. Dan berbagai aspek lainnya yang tak kalah penting. 

Karena pengelolaan liga amatir sebenarnya bisa menjadi cerminan para pengelolanya, dalam hal ini PSSI. Lihat saja bagaimana pengelolaan liga (yang katanya) profesional milik PSSI beberapa tahun belakangan ini. 

Dan menurut saya. Liga Amatir itu ibarat sekolah. Sekolah bagi pengelolanya, perangkat pertandingan, dan juga pesertanya. Kalau sekolahnya bagus dan kurikulumnya benar maka akan diperoleh output yang berkualitas. Dan output itu nantinya akan digunakan di dalam liga level profesional yang akan berimbas pula pada kualitas kompetisinya.

Jadi, mau sampai kapan lagi liga amatir tetap dikelola secara amatiran?

Friday, October 19, 2012

Turnamen tarkam di Kecamatan Bener, Purworejo beberapa waktu lalu.
Bumi terus berputar dan waktu pun terus berjalan, setidaknya hingga kini. Begitu pun dengan sepak bola. Setiap hari dari lapangan satu ke lapangan lainnya silih berganti, pertandingan sepak bola selalu saja bisa kita jumpai. Baik di kota yang sudah menipis persediaan lapangan hijaunya, maupun di pedesaan yang juga sama nasibnya. Bola terus bergulir setiap sorenya. Sepak bola tarkam.

Tarkam atau antar-kampung mungkin bisa dibilang sebagai pertandingan kasta paling bawah, bagi sebagian orang. Pertandingan yang kadang tanpa aturan, tanpa wasit, tanpa harus repot-repot menyiapkan segala perlengkapan seperti sepak bola modern sekarang ini. Cukup dengan 1 bola dan 2 kesebelasan yang kadang tak berjumlah 11, bisa kurang ataupun lebih. Bahkan, dengan bola dari plastik sekalipun.

Saya jadi teringat saat masa SMP dan SMA dulu. Bersama teman-teman sekampung tanding tarkam tiap akhir pekan, hampir tidak pernah absen. Tanding di kandang, Lapangan Mini Ngemplak, dan juga tandang berkali-kali. Seru? Pastinya. Apalagi kalau saat tandang, beramai-ramai naik sepeda menuju lapangan yang sudah disepakati untuk jadi tempat tanding.

Ada kebanggaan tersendiri saat tanding tarkam. Baik menang maupun kalah hasilnya, tak jadi masalah. Karena di sini yang dicari senang dan serunya, meskipun sebenarnya kesal juga kalau kalah. Sesaat, setelah itu ya sudah, balas di lain waktu. Pernah juga waktu itu, jauh-jauh saya dan teman-teman naik sepeda dengan penuh semangat untuk tarkam, ternyata setelah sampai lapangan malah gagal tanding. Antara kecewa dan pingin ketawa.

Itu tadi sedikit cerita saya saat tarkam pada masa SMP dan SMA, kurang lebih 9 tahun yang lalu, sebagai gambaran tarkam era dulu. Tarkam dalam arti luas, pertandingan antar-kampung. Nah, fokus saya di sini adalah tarkam dalam arti yang lebih menyempit. Yakni, pertandingan antar-klub. Entah itu klub dari kampung ataupun klub yang sudah dikelola secara profesional meski statusnya masih amatir.

Di Kabupaten Purworejo misalnya, daerah asal saya, banyak sekali klub-klub sepak bola. Kalau misal dicacah, ada lebih dari ratusan, baik yang sudah terdaftar sebagai anggota Pengcab PSSI maupun yang belum. Klub umumnya berasal dari suatu kampung dengan nama yang beraneka, membawa nama kampung pastinya. Dan umumnya di setiap desa terdapat satu klub sepak bola, bahkan lebih. Tapi, ada juga desa/kelurahan yang tidak ada klubnya. Kampung tempat tinggal saya contohnya. 

Banyaknya jumlah klub dibarengi dengan masih banyaknya jumlah lapangan. Cukup beruntung memang, masih banyak lapangan yang terdapat sekarang ini di Purworejo. Salah satunya yang menjadi tempat favorit untuk sekadar bermain sepak bola adalah Alun-Alun Purworejo yang cukup luas itu. Berbagai kalangan usia dari anak-anak SD hingga orang-orang tua bisa dijumpai di sana tiap sorenya. Begitu juga dengan pertandingan tarkam, bisa dilihat di sana, di lapangan sepak bola yang ada di situ.

Selain tanding tarkam seperti biasanya, ada juga turnamen tarkam. Turnamen rutin digelar di hampir 75% dari total 16 kecamatan yang ada di daerah Kabupaten Purworejo. Biasanya, turnamen diadakan antara bulan Juni-September. Turnamen ini juga digunakan sebagai persiapan oleh beberapa klub untuk menghadapi kompetisi tingkat Pengcab PSSI yang digelar antara bulan Oktober - Desember.

Kebanyakan klub-klub sepak bola di Purworejo diisi oleh pemain-pemain muda. Bahkan, tak sedikit pula yang diperkuat oleh pemain-pemain usia sekolah, 20 tahun ke bawah. Kalau mau dihitung, ada berapa banyak pemain potensial di situ? Banyak, meski kebanyakan juga hanya berlatih otodidak. Tapi, di situlah tempatnya kalau ingin mencari bakat-bakat alami. Sayangnya, masih belum dioptimalkan oleh pihak yang (seharusnya) berwenang dalam pembinaan sepak bola.

Dari pertandingan tarkam pun, banyak hal yang bisa dipelajari dan digali di dalamnya. Tentang, apakah mereka, para pemain, bermain sesuai dengan peraturan permainan sepak bola di lapangan? meski banyak dari mereka yang tidak pernah membaca peraturan permain sepak bola dari FIFA dan hanya tahu dari temannyaBegitupun juga dengan wasit, apakah para wasit benar-benar menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang ada? meski hanya wasit dadakan atau wasit tingkat kampung saja. Bagaimana mereka bisa survive mengelola klub-klubnya meski hanya di tingkat kampung? baik yang serius maupun yang hanya dijadikan sebagai media hiburan. Dan lainnya.

Pertandingan tarkam, pertandingan yang bisa dapat dilihat setiap sore harinya di lapangan-lapangan kampung atau kota yang jumlahnya makin menipis, menjadi hiburan tersendiri bagi sebagian orang yang bisa menikmatinya. Potensi yang terabaikan. (@aritsantoso)

Wednesday, October 17, 2012

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 saat itu. Saya dan rombongan dari Pasoepati masih berada di sekitaran Hall Basket C menanti datangnya tiket masuk ke SUGBK. Sementara itu, jalanan di dalam GBK sudah mulai ramai. Dipadati oleh orang-orang beratribut merah, putih, dan warna lainnnya, warna khas suporter Indonesia. Hingga akhirnya koordinator rombongan datang membawa tiket, dan tiket pun dibagikan. Menjelang pukul 17.00, kami pun mulai berjalan untuk memasuki SUGBK.

Tiket masuk Kategori 3, Tribun Atas Utara SUGBK
Sambil berjalan, sebagian banyak sambil meneriakkan nyanyian-nyanyian khas suporter. Mendadak ramai jalanan sebelah barat SUGBK oleh ulah kami. Kami pun mendadak jadi pusat perhatian saat itu. Hingga sampailah di pintu masuk sebelah utara, antri dulu! Suporter tetap harus menjaga ketertiban kan.

Dan akhirnya, saya pun masuk ke SUGBK. Setelah naik beberapa anak tangga, berhenti sejenak di atas sebelum masuk ke tribun sembari melihat kondisi luar yang mulai ramai olah para pendukung Garuda. Merah mendominasi meski ada warna-warna lainnya.

Suasana di luar SUGBK pkl 17.00, belum begitu ramai.
Setelah masuk ke atas tribun, suasana dalam SUGBK masih sepi. Mungkin, baru 1-2 ribuan orang karena saat itu masih pukul 17.00 dan kickoff baru dimulai pukul 19.00. Dalam hati aku berujar, "Seperti ini toh SUGBK itu". Sambil menunggu waktu pertandingan dimulai, santai-santai dulu di tribun.

Narsis bentar, boleh lah :))
Sedikit demi sedikit tribun mulai penuh dan hari sudah mulai gelap. Lampu SUGBK pun mulai dinyalakan. Nyanyian khas suporter Indonesia mulai menggema di berbagai sudut, khususnya di tribun bawah bagian utara yang sudah dipenuhi oleh Jakmania, seperti biasanya.

SUGBK makin bergemuruh ketika para punggawa Garuda memasuki lapangan untuk pemanasan, "Indonesia..! Indonesia..! Indonesia..!" berulang kali diserukan. Sementara SUGBK sudah mulai penuh, hanya sisi atas sebelah selatan saja yang sedikit kosong. Kickoff tinggal beberapa menit lagi.

Akhirnya, FIFA Fair Play Anthem pun berkumandang di SUGBK. Kedua kesebelasan, Indonesia dan Turkmenistan, memasuki lapangan hijau diawali oleh ofisial pertandingan. Lagi-lagi seruan "Indonesia" menggemuruh.  Terlebih saat jatah lagu kebangsaan dinyanyikan, Indonesia Raya menggetarkan SUGBK malam itu. Riuh!

Flares membara di tribun selatan.
Priiit! Pertandingan dimulai. Tampak di bagian selatan, warna merah kekuningan membara. Red Flare pun membuka pertandingan malam itu. Saya sangat tegang kala itu. Untuk pertama kalinya bisa menyaksikan langsung pertandingan Timnas Indonesia di SUGBK. Sebuah kebanggaan tersendiri setelah bertahun-tahun bermimpi. Saya pun larut bernyanyi menyemangati para punggawa Garuda, Indonesia!

SUGBK makin bergetar ketika El Loco Gonzales menjebol gawang Turkmenistan pada menit ke-10. Puluhan ribu suporter dan penonton melonjak-lonjak kegirangan. Apa jadinya kalau tak hanya 1 gol tercipta malam itu? Dan itupun terjadi. Gol ke-2 kembali dicetak El Loco jeda 8 menit dari gol pertama. Flares membara di mana-mana. 2 - 0 Indonesia unggul.

Flares di tribun utara.
Babak pertama akhirnya ditutup dengan skor 3 - 0. M. Nasuha yang menjadi aktornya melalui gol spektakulernya dari luar kotak penalti. Babak pertama yang cukup menguras tenaga baik bagi pemain maupun suporter yang tak henti-hentinya bernyanyi (kecuali yang tidak, hehe..). 

Tampak wajah-wajah ceria karena Indonesia sedang unggul jauh dari Turkmenistan. Badan saya pun basah oleh keringat. Saat jeda akhirnya cuma duduk sambil mengumpulkan tenaga lagi. Karena, babak ke-2 saya yakini pertandingan akan berjalan makin seru.

Babak kedua pun dimulai, 25 menit awal pertandingan berjalan biasa-biasa saja menurut saya. Meskipun begitu, nyanyian-nyanyian dari suporter terus bergema. Salah satunya lagu Indonesia Pusaka yang diawali oleh para Jakmania akhirnya merembet ke hampir seluruh tribun SUGBK.

Tapi, ada salah satu momen yang lucu pada tengah-tengah pertandingan. Ada seseorang yang menyalakan kembang api yang sebenarnya tidak diperkenankan. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dengan kembang api tersebut, cuma yang menjadi perhatian di sini adalah ketika orang itu mengarahkan kembang api ke atap SUGBK. Kembang api pun memantul dan meledak di kerumunan para penonton yang ada di tribun. Nyaris ribut saat itu. Tapi akhirnya bisa terkendali. Apa jadinya kalau benar-benar ribut dengan pendukung sendiri hanya karena kembang api? Haha.

Lanjut, memasuki menit ke-70-an, suasana menjadi berbeda. Pertandingan kembali seru ketika Turkmenistan membalas gol meski lewat kaki M. Nasuha, gol bunuh diri. Skor jadi 3 - 1 pada menit ke-73. Para Garuda pun kambeli membalas dengan golnya. M. Ridwan dengan tenang mengarahkan bola ke arah kiri gawang, dan gol! Tribun kembali bergetar, suasana semakin bergemuruh. 4 - 1 pada menit ke-83.

Tapi, suasana seolah berbalik 180 derajat saat 2 gol dari pemain Turkmenistan menjebol gawang Ferry Rotinsulu. Skor 4 - 3 pada menit ke-86. Tribun mendadak sepi, terhenyak oleh 2 gol tersebut. Saya pun demikian, sejenak duduk terdiam. Nasib Indonesia di antara 2 sisi. Peluang lolos dan tidak kini jadi 60% - 40%. Kebobolan 1 gol lagi saja tiket lolos ke babak selanjutnya akan amblas.

Menit-menit akhir di waktu tambahan, suasana makin riuh. Riuh oleh teriakan para pendukung Garuda yang juga sama dengan yang saya rasakan, harap-harap cemas. Sorakan menyemangati para Garuda, dan jeritan ketika pertahanan Indonesia diserang Turkmenistan. Sampai akhirnya wasit meniup peluit tanda babak kedua usai, pecah!

Suasana pun pecah akan keceriaan para punggawa Garuda, tim ofisial, dan puluhan ribu pendukung Garuda. Lega rasanya! Lega setelah 90 menit lebih terkuras suara dan tenaga demi mendukung para Garuda. Rasa senang, cemas, dan nyaris kecewa serta lelah bercampur aduk. Dan terbayar oleh kemenangan 4-3 Indonesia atas Turkmenistan.

Pertandingan selesai. Perlahan tribun SUGBK kembali kosong ditinggalkan para pendukung Garuda. Kalau saya masih tetap berada di dalam sembari menunggu jalan turun sepi. Bahkan, saya di dalam sampai lampu SUGBK dimatikan dan mau tak mau harus turun. Gelap!

Sampai di bawah, saya jalan-jalan dulu sambil mencari kaos untuk ganti karena kaos yang saya bawa sudah basah semua termasuk yang saya pakai saat mendukung Indonesia tadi. Akhirnya saya dapat kaos dengan harga Rp 15.000,- setelah mengeluarkan jurus tawar-menawar. Harga dari penjual Rp 30.000,-, lumayan potong setengah harga, hehe.

Lalu di mana saya bermalam? Saya dan rombongan dari Pasoepati tidur di lapangan hockey, sebelah utara Hall Basket. Hanya berselimut jaket, yang penting bisa terlelap dan menghilangkan lelah sebelum esoknya pulang kembali ke timur, Solo.

Dan inilah akhir kisah dari sebuah perjalanan yang sangat berkesan. Pengalaman pertama mendukung Timnas Indonesia langsung di stadionnya, SUGBK. Takkan saya lupakan. Entah kapan bisa ke sana lagi, apalagi dengan keadaan sepak bola Indonesia sekarang ini. Ah sudahlah.. yang penting Jiwa Garuda tetap ada di dada, tetap dukung Indonesia! :)


Thursday, October 11, 2012

Pentingnya kompetisi pada pesebak bola usia dini. (foto mamasjo/ligapurworejo.blogspot.com)
Bicara soal sepak bola Jepang, maka pertama kali yang terlintas dalam pikiranku adalah seorang yang bernama Hidetoshi Nakata. Pemain yang pernah bermain beberapa liga di Eropa ini bisa dibilang menjadi salah satu pemain idolaku. Terlebih saat Nakata bermain di Parma, klub pertama Eropa yang aku sukai.

Setelah era Nakata dan juga Shunsuke Nakamura, mulai banyak pemain muda Jepang yang bereksodus ke liga-liga di Eropa. Contoh saja Shinji Kagawa dan Ryo Miachi, dua pemain muda yang naik daun pada awal karirnya di sana. Kenapa bisa begitu?

Jepang mulai menunjukkan tajinya sejak awal tahun 2000-an. Bahkan, sejak Piala Dunia 1998 hingga yang baru saja digelar 2010 lalu, Jepang selalu lolos ke putaran final. Di level kelompok usia pun, Jepang cukup berprestasi. Pembinaan sepak bola usia dini lah yang menjadi kunci kesuksesan mereka.

Seperti yang diungkapkan pelatih Timnas Jepang U-22, Yushasi Yoshida, dikutip dari bola.kompas.com (9 Juli 2012): "Kesuksesan kami bukan dari tim senior, tetapi yang paling penting adalah tim nasional kelompok umur. Dalam Federasi sepak bola di negara kami (JFA), memiliki sistem yang baik untuk mendidik berbagai tim dari kelompok umur, U-13, U-14, dan U-16".

Sistem seperti apa yang diterapkan di Jepang? "Kami sekarang membuat sistem kompetisi, di mana setiap minggu, kami selalu mengadakan laga untuk semua kelompok kategori umur. Banyak jam terbang sangat penting bagi pemain muda. Hal yang kami terapkan ini sama seperti yang dilakukan dalam pembinaan sepak bola Eropa," kata Yushasi Yoshida.

Bagaimana dengan sepak bola Purworejo? Apakah bisa sistem seperti di Jepang itu diterapkan di sini? Bisa! Perkembangan sepak bola Purworejo bisa dibilang cukup menunjukkan hasil meski belum memberikan prestasi terbaik. Kalau pun butuh tolok ukur, kesuksesan Persekabpur salah satunya. Tapi, menurutku bukan itu tolok ukur utamanya, melainkan kembali lagi ke soal pembinaan usia dini.

Sekitar 20-an lebih Sekolah Sepak Bola (SSB) tersebar 16 Kecamatan yang ada di Purworejo. Belum lagi, klub-klub sepak bola amatir yang jumlahnya lebih dari 50, termasuk yang belum terdaftar sebagai anggota PSSI Pengcab Purworejo. Baik SSB maupun klub amatir juga melakukan pembinaan usia dini. Tapi, apakah sudah optimal? Belum. Coba saja hitung, jika tiap SSB memiliki lebih dari 30 siswa, maka ada berapa bibit-bibit yang bisa dituai nantinya? Tambang emas, jika bisa dikelola dengan baik dan benar.

Banyaknya SSB dan klub tersebut merupakan potensi emas bagi kemajuan sepak bola Purworejo. Kenapa harus melalui kompetisi? Seperti yang telah dikatakan Yushasi Yoshida, dengan kompetisi pemain menjadi lebih banyak mempunyai jam terbang. Selain itu, kompetisi akan menjadi media bagi para pemain untuk membentuk mental mereka dan mengasah skill yang sudah didapat ketika latihan di SSB maupun Klub.

Apa targetnya? Tentunya harus sabar untuk meraih hasil dari pembinaan karena butuh waktu yang cukup lama untuk mencapai target. Pembinaan selalu identik dengan prestasi jangka panjang, bukan prestasi instan yang dengan seketika bisa didapat. Seperti halnya apa yang dilakukan Jepang dan beberapa negara lain yang memiliki program yang serupa, fokus dalam pembinaan usia dini melalui kompetisi yang rutin dan berjenjang.

Bersambung...

referensi: 

Friday, August 3, 2012

Salam kawan. Selamat berjumpa kembali. Akhirnya saya bisa kembali menulis meski hanya sekadar cerita belaka. Nah di tulisan ini akan saya ceritakan kisah perjalanan sebagai seorang "suporter", bukan lagi sebagai "soccer player". Ya bisa dibilang ini cerita serba “pertama kali” saya dari mulai perjalanan berangkat hingga pulang, untuk sesi pertama.

Kisah ini kisahku setahun yang lalu, kisah tentang perjalanan menuju ke barat demi mencari kitab suci. Eh bukan, lebih tepatnya demi yang namanya mendukung langsung sepak bola di ibu kota sana. Kata orang, entah siapa, belum jadi pendukung yang sesungguhnya jika belum mendukung langsung di stadion. Ada pula orang bilang, "Buat apa jauh-jauh ke sana kalau hanya ingin mendukung, nonton di tv saja gak repot!". Kalau saya pribadi, selama ada kesempatan  kenapa tidak?

Tepatnya setahun lalu pada bulan Juli 2011, lebih tepatnya lagi tgl 27-30 Juli 2012, saya ke ibu kota demi yang namanya mendukung Timnas Indonesia. Timnas kala itu sedang berjuang dalam babak kedua kualifikasi Piala Dunia 2014. Timnas jatah menjamu Turkmenistan pada putaran ke-2 setelah pada putaran ke-1 bermain imbang 1-1 di Turkmenistan.

Oke, mulai ya kisah perjalanan dari awal (27/7/11) sampai akhir (30/7/11). Saya berangkat dari Solo bersama rombongan Pasoepati (kelompok suporter di Solo). Kebetulan memang sedang merantau di Solo, dan saya mendapat informasi melalui twitter @Pasoepati yang mengadakan tour ke SUGBK. Dengan biaya 120ribu rupiah (transport PP dan tiket masuk), saya pun mendaftar. Semacam menjadi “penyusup” di rombongan orang, karena saya juga bukan termasuk anggota (nyengir).

Sampai akhirnya tiba masa keberangkatan, hari Rabu (27/7/11), tepat pukul 17.00 WIB kereta Senja Bengawan bergerak dari Stasiun Jebres, Solo. Saya berangkat bersama puluhan Pasoepati dan beberapa orang (bukan anggota) lainnya. menjadi pengalaman pertama ke Jakarta naik kereta, sekaligus akan menjadi pengalaman pertama mendukung langsung Timnas di Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Sta. Tanah Abang
Sekitar pukul 05.00 WIB pagi kereta berhenti di tempat pemberhentian terakhir, Stasiun Tanah Abang, Jakarta. Yak! Untuk pertama kalinya kakiku menginjak Tanah Abang. Setelah sholat shubuh, mandi, dan sarapan pagi, perjalanan dilanjutkan kembali menggunakan kereta dari Tanah Abang ke Palmerah. Dan setibanya di Palmerah, dilanjutkan dengan jalan kaki cukup jauh ke SUGBK.

Dan.. sampailah di komplek GBK. Semacam percaya tidak percaya, akhirnya bisa melihat dengan mata telanjang Stadion Utama Gelora Bung Karno untuk yang pertama kalinya. Saya dan rombongan pun istirahat di samping Hall Basket C GBK sambil menunggu sore hari. Tiba di GBK masih terlalu pagi, sekitar pkl 08.00 WIB, dan masih sepi.

Pagi-pagi antrian pengambilan tiket sudah mengular.
Karena penasaran, saya coba masuk mendekat ke SUGBK. Ternyata di sana sudah ada antrian manusia yang sedang mengambil tiket untuk nanti malam. Sambil saya mengelilingi SUGBK sambil merasa takjub bisa melihatnya dan berada di sana langsung. Bagi orang lain yang sudah berkali-kali ke sana mungkin akan bilang,”biasa saja”. Tapi, akan beda ketika itu adalah untuk yang pertama kalinya.

Semacam ada yang aneh.
Setelah berkeliling, saya kembali ke rombongan untuk istirahat menunggu datangnya sore hari, menunggu datangnya tiket masuk dari pimpinan rombongan. Lagipula, pertandingan baru akan dimulai pkl 19.00 WIB. Masih sangat lama dan lebih baik saya gunakan untuk istirahat setelah perjalanan jauh dan melelahkan semalaman di dalam kereta.

Singkat cerita, sore hari pun tiba. Setelah menunggu dengan sabar (sebenarnya gak sabar, iya sudah gak sabar ingin masuk SUGBK!), akhirnya tiket pun dibagikan. Pukul 17.00 WIB, saya dan rombongan bergerak dan masuk ke SUGBK. Untuk pertama kalinya antri di pintu masuk sebelum untuk pertama kalinya benar-benar masuk ke SUGBK. 

Ini tiket masuk ke SUGBK di tribun kategori 3.
Dan.. sampailah saya di dalam SUGBK tribun atas sebelah utara. Untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di tribun stadion yang katanya paling besar se-Indonesia. Untuk pertama kalinya melihat langsung dalamnya SUGBK.  Dan saat itu, saya masih antara percaya tidak percaya. Takjub!

Sampai di dalam SUGBK, tribun masih sepi karena baru beberapa yang sudah masuk. Perlahan-perlahan para pendukung Merah Putih dengan kaos atau baju warna merah dan atribut layaknya supporter tak lupa juga bendera merah putih memenuhi tribun. Sampai akhirnya tribun penuh (meski tak 100%). 

Riuh suara nyanyian khas suporter pun terdengar dari berbagai sudut. Terlebih saat para pemain Timnas masuk ke lapangan untuk pemanasan. "Indonesia...! Indonesia...! Indonesia...!", seperti yang biasanya aku dengar melalui layar kaca, dan kini saya merasakannya langsung, juga ikut berteriak. 

Tribun SUGBK dipenuhi pendukung Timnas.
Menakjubkan! Yak, sungguh menakjubkan bisa merasakan atmosfer ribuan orang dalam satu tempat, dalam stadion yang besar ini untuk yang pertama kalinya. Dan semakin takjub dan terharu saat masa dikumandangkannya "Indonesia Raya", ribuan suara berseru dan bersatu menyanyikannya. It was a great moment and i won't forget it!

Bersambung..